Pada tahun 1990, untuk pertama
kali sejarah Arsitektur Indonesia mencatat lahirnya manifesto Arsitek dari
kelompok yang menamakan dirinya Arsitek Muda Indonesia. Bagi Arsitek Muda
Indonesia, Arsitektur adalah wujud penjelajahan desain, penjelajahan desain
yang dibekali, kepekaan tinggi terhadap situasi kondisi masyarakat dan
lingkungan indonesia dan bagi mereka dasar penjelajahan itu sendiri adalah
keakraban dialog antara arsitek dengan masyarakat sebagai keterpaduan gagasan
dan kenyataan ( Manifesto Arsitek Muda Indonesia dalam pameran Arsitektur
Prospektif 1990).
Penciptaan desain yang tak lagi peka terhadap
kondisi masyarakat dan lingkungan.
Persoalan pertama terkait dengan turunnya
kualitas profesional arsitek indonesia ketika menghadapi arus globalisasi yang
ditandai dengan menguatnya peran sektor swata sebagai pemberi tugas. Yori Antar menambahkan, selain
Profesionalisme, Arsitektur Indonesia telah kehilangan personalitasnya.
Menurutnya sebagian besar arsitek Indonesia tenggelam di balik nama biro
arsiteknya. Soni Sutanto (1990) membandingkan AMI dengan kelompok Crystal Chain
( pencetus aliran Expressionism, yang dibentuk Bruno Taud di Jerman tahun 1920)
yang memiliki kesamaan pandangan bahwa “ setiap karya harus dapat dikenali
perancangnya dan juga keyakinan-keyakinan dibalik proses penciptaan karya
tersebut”. Pencarian karya dengan
karakter personal ini menjadi salah satu ciri yang menonjol dalam perjalanan
AMI.
Setahun setelah Pameran Arsitektur
Prespektif 1990, digelar pameran kedua yang bertema Kotak Katik Kota Kita.
Dalam pameran ini, menurut AMI, Penciptaan karya tidak harus selalu berdasarkan
pada bentuk arsitektur yang ada di wilayah tersebut, tapi lebih berbasis pada
permasalahan-permasalahan nyata yang ada di kota. Namun rencana pemeran kedua
ini tidak terlaksana. Bambang Eryudhawan
Menyerukan kapada para arsitek untuk berani melihat kota dari kepentingan
penghuninya dan lebih dari itu mengajak
para arsitek merebut kembali hak atas kota.
Kota-kota indonesia memang
menjadi korban eksploitasi berbagai pihak yang berkuasa secara politik dan
ekonomi. Politisasi ruang atas nama politik identitas dan komersialisasi ruang
telah mengancam struktur dan sistem operasi kota yang telah ada sebelumnya.
Realisasi Karya
Sejalan
dengan perjalanan waktu di tengah kuatnya arus silang berbagai kepentingan dan
permasalahan , komitmen penjelajahan desain AMI berhadapan dengan tuntutan
realisasi karya. Mereka tidak bisa terus memamerkan rancangan-rancangan yang
tak terbangun. Lalu timbul pertanyaan, Apakah mereka memang mempunyai kemampuan
yang baik dalam merancang baik dari sisi konsepsual amaupun teknis? Adakah
karakter personal yang muncul dalam setiap karya mereka?
Lalu, AMI
menggelar pameran arus silang pada tahun 1993 di 2 tempat, dirumah Sarjono Sani
yang baru menerima IAI Award 1993 dan kemudian di lorong Jurusan Arsitektur
ITB. Pameran ini lebih banyak menampilkan karya-karya yang terbangun dan
menjadi semacam jawaban AMI atas pertanyaan- pertanyaan diatas.
Pernyataan yang muncul dalam
pameran Arus Silang 1993 terbaca lebih optimis dalam menghadapi masa depan. Namun,
pameran ini mendapat kritik tajam dari Arsitek senior Romo Mangunwijaya dengan
menyebutkan Eksplorasi yang dilakukan AMI masih setengah-setengah , penggunaan
Teknologi, Bahan, dan Warna masih ketinggalan zaman. AMI juga dinilai belum menyentuh problematika
yang di hadapi 180 juta penduduk Indonesia. Romo Mangun sebenarnya mengharapkan
AMI mampu menggali dan mengangkat kembali kekhasan Indonesia yang ada dalam
Arsitektur kota, desa dan jalan, pasar dan lain sebagainya.
Setelah Pameran 1993 , Aktivitas
dan Produktifitas AMI terus bertambah, seperti : kegiatan presentasi karya dan
open house, rangkaian pameran Arsitektur di dalam maupun di luar negeri, stude
ekskursi, penerbitan buku, keikutsertaan dalam kompetisi desain hingga dominasi
mereka dalam penghargaan-penghargaan karya terbaik di IAI.
Perjalanan AMI
Perjalanan AMI dapat diikuti berdasarkan tempat
berkumpulnya, di bagi menjadi 3 periode. Periode pertama(1989-1993) menjadi
masa paling heroik dalam perjalanan AMI. Pada periode inilah AMI berkumpul
secara reguler untuk saling mempresentasikan, mengkritik, dan mendiskusikan
karya-karya baru mereka. Periode ini juga mengawali tradisi open house, pameran
arsitektur dan publikasi karya dalam upaya memperjuangkan eksistensi mereka di
dunia arsitektur Indonesia. Dalam setiap pameran mereka selalu menulis
manifesto dan pernyataan-pernyataan arsitektur yang dapat di baca sebagai
keinginan ideal mereka.
Periode kedua menjadi puncak
aktivitas AMI, mereka meluncurkan buku pertama yang merekam seluruh perjalanan
dan penjelajahan AMI sepanjang tahun 1990 hingga 1995. Perjuangan untuk
mendapatkan karakter personal dalam karya Arsitektur makin terlihat. Nama-nama
Arsitek Muda Indonesia mulai lebih dikenal
dari pada nama kantor mereka atau tempat kerja mereka.
Pada Periode ketiga (1997-2001)
dapat dikatakan sebagai periode menurunnya aktivitas mereka sebagai kelompok.
Awal 2000-an ketika markas besar AMI mulai pindah ketoko buku aksara di jalan
kemang. Intensitas keterlibatan anggota inti AMI (seperti Yori Antar, irianto P.H., Soni Sutanto) mulai berkurang.
Nama-nama baru seperti Ahmad, Wendi Juhara, dan Adi Purnomo. Mulai menggantikan
mereka dalam menggerakkan kegiatan AMI.
sumber : Tegang Bentang 100 tahun Perspektif Arsitektur Indonesia
google.com